Tujuh
Ayat Sekolah Unggul
Oleh A. CHAEDAR ALWASILAH *)
Hakikat
pendidikan adalah mengubah budaya. Apa yang sering dilupakan banyak orang adalah bahwa sekolah-sekolah kita telah memiliki
budaya sekolah (”school culture”) yaitu seperangkat nilai-nilai, kepercayaan, dan kebiasaan yang sudah mendarah
daging dan menyejarah sejak negara ini merdeka. Tanpa keberanian mendobrak kebiasaan ini, apa pun model pendidikan dan peraturan
yang diundangkan, akan sulit bagi kita untuk memperbaiki mutu pendidikan.
Sedikitnya ada lima tradisi yang membatu selama ini: (1)
orang tua menganggap sekolahlah yang bertanggung jawab mendidik siswa, (2) orang tua percaya bahwa program IPA lebih bergengsi
daripada program IPS bagi anak mereka, (3) orang tua percaya bahwa sekolah kejuruan kurang bergengsi, (4) masyarakat percaya
bahwa gelar ke(pasca)sarjanaan merupakan simbol status sosial, dan (5) pemerintah merasa paling jagoan menyelenggarakan pendidikan.
Wacana pendidikan kita kini diperkaya oleh seperangkat
kosa kata yang maknanya berimpitan: sekolah percontohan, sekolah percobaan, sekolah unggul, sekolah akselerasi, dan sejenisnya.
Dalam literatur internasional semua itu lazim disebut lab school, effective school, demonstration school, experiment school,
atau accelerated school, dan sekolah-sekolah pun diiklankan dengan atribut-atribut magnetis itu.
Senarai kosa kata itu tidak persis bersinonim. Ada nuansa
kekhasan pada masing-masing. Dari semua itu, kosa kata yang paling lazim dipakai adalah effective school atau sekolah
unggul yang didasarkan atas keyakinan bahwa siswa, apa pun etnis, status ekonomi, dan jenis kelaminnya, akan mampu belajar
sesuai dengan tuntutan kurikulum.
Pendekatan yang ditempuh adalah perencanaan secara kolaboratif
antara guru, administrator, orang tua, dan masyarakat. Data prestasi siswa dijadikan basis untuk perbaikan sistem secara berkelanjutan.
Sekolah unggul demikian memiliki sejumlah korelat atau ciri pemerlain sebagai berikut.
Pertama, visi dan misi sekolah yang jelas.
Mayoritas sekolah kita belum mampu-- dan memang tidak diberdayakan untuk mampu--mengartikulasikan visi dan misinya. Visi adalah
pernyataan singkat, mudah diingat, pemberi semangat, dan obor penerang jalan untuk maju melejit. Misalnya, "SMA berbasis komputer",
"SD berbasis kelas kecil", "SMP berbasis IST (information system technology)," "SMK bersistem asrama," "Aliyah dengan
pengantar tiga bahasa," dan sebagainya.
Konsep iman dan taqwa (imtaq) dan ilmu pengetahuan
dan teknologi (iptek) selama ini terlalu sering dipakai sehingga maknanya tidak jelas, mengawang-awang, filosofis, dan tidak
operasional. Misi adalah dua atau tiga pernyataan sebagai operasionalisasi visi, misalnya "membangun siswa yang kreatif dan
disiplin," dan sebagainya. Walau begitu, ada prioritas yang diunggulkan dalam rentang zaman secara terencana. Prioritas ini
dinyatakan eksplisit dalam rencana kerja tahunan sekolah.
Untuk mengimplementasikan visi dan misi sekolah ada sejumlah
langkah yang mesti ditempuh: (1) pahami kultur sekolah, (2) hargai profesi guru, (3) nyatakan apa yang Anda hargai, (4) perbanyak
unsur yang Anda hargai, (5) lakukan kolaborasi dengan pihak-pihak terkait, (6) buat menu kegiatan bukan mandat, (7) gunakan
birokrasi untuk memudahkan bukan untuk mempersulit, dan (8) buatlah jejaring (networking) seluas mungkin.
Kedua, komitmen tinggi untuk unggul. Staf
administrasi, guru, dan kepala sekolah memiliki tekad yang mendidih untuk menjadikan sekolahnya sebagai sekolah unggul dalam
segala aspek, sehingga semua siswa dapat menguasai materi pokok dalam kurikulum. Semuanya memiliki potensi untuk berkontribusi
dalam proses pendidikan. Komitmen ini adalah energi untuk mengubah budaya konvensional (biasa-biasa saja) menjadi budaya unggul.
Ketiga, kepemimpinan yang mumpuni. Kepala
sekolah adalah "pemimpin dari pemimpin" bukan "pemimpin dari pengikut." Artinya selain kepala sekolah ada pemimpin dalam lingkup
kewenangannya sehingga tercipta proses pengambilan keputusan bersama (shared decision making). Komunikasi terus-menerus
dilkukan antara kepala sekolah dan para guru untuk memahami budaya dan etos sekolah yang yang diimpikan lewat visi sekolah
itu. Bila tidak dikomunikasikan terus-menerus, visi itu akan mati sendiri.
Guru juga adalah pemimpin dengan kualitas sebagai berikut:
(1) terampil menggunakan model mengajar berdasarkan penelitian, (2) bekerja secara tim dalam merencanakan pelajaran, menilai
siswa, dan dalam memecahkan masalah, (3) sebagai mentor bagi koleganya, (4) mengupayakan pembelajaran yang efisien, dan (5)
berkolaborasi dengan orang tua, keluarga, dan anggota masyarakat lain demi pembelajaran siswa.
Keempat, kesempatan untuk belajar dan pengaturan
waktu yang jelas. Semua guru mengetahui apa yang mesti diajarkan. Alokasi waktu yang memadai dan penjadwalan yang tepat sangat
berpengaruh bagi kualitas pengajaran. Guru memanfaatkan waktu yang tersedia semaksimal mungkin demi penguasaan keterampilan
azasi. Dalam hal ini perlu dijaga keseimbangan antara tuntutan kurikulum dengan ketersediaan waktu. Kunci keberhasilan dalam
hal ini adalah mengajar dengan niat akademik yang jelas dan siswa pun mengetahui niat itu. Mengajar yang berkualitas memiliki
ciri sebagai berikut: (1) organisasi pembelajaran yang efisien, (2) tujuan yang jelas, (3) pelajaran yang terstruktur, dan
(4) praktik mengajar yang adaptif dan fleksibel.
Kelima, lingkungan yang aman dan teratur.
Sekolah unggul bersuasana tertib, bertujuan, serius, dan terbebas dari ancaman fisik atau psikis, tidak opresif tetapi kondusif
untuk belajar dan mengajar. Siswa diajari agar berperilaku aman dan tertib melalui belajar bersama (cooperative learning),
menghargai kebinekaan manusiawi, serta apresiasi terhadap nilai-nilai demokratis. Banyak penelitian menunjukkan bahwa suasana
sekolah yang sehat berpengaruh positif terhadap produktivitas, semangat kerja, dan kepuasan guru dan siswa.
Keenam, hubungan yang baik antara rumah dan
sekolah. Para orang tua memahami misi dan visi sekolah. Mereka diberi kesempatan untuk berperan dalam program demi tercapainya
visi dan misi tersebut. Dengan demikian, sekolah tidak hanya mendidik siswa, tetapi juga orang tua sebagai anggota keluarga
sekolah yang dihargai dan dilibatkan.
Dengan melibatkan mereka pada kegiatan ekstra di akhir
pekan (extra school) misalnya, siswa sadar bahwa orang tuanya menghargai kegiatan pendidikan, sehingga mereka pun menghargai
pendidikan yang dilakoninya. Inilah contoh konkret hubungan tripatriat sekolah-siswa-orang tua. Upacara-upacara yang dihadiri
orang tua sesungguhnya merupakan kesempatan untuk membangun citra sekolah dan untuk merayakan visi dan misi. Singkatnya, sekolah
unggul membangun "kepercayaan" dan silaturahmi sehingga masing-masing memiliki nawaitu tinggi untuk melejitkan prestasi.
Ketujuh, monitoring kemajuan siswa secara
berkala. Kemajuan siswa dimonitor terus- menerus dan hasil monitoring itu dipergunakan untuk memperbaiki perilaku dan performansi
siswa dan untuk memperbaiki kurikulum secara keseluruhan. Penggunaan teknologi, khususnya komputer memudahkan dokumentasi
hasil monitoring secara terus- menerus.
Evaluasi penguasaan materi pelajaran secara perlahan bergeser
dari tes baku (standardized norm-referenced paper-pencil test) menuju tes berdasar kurikulum dan berdasar kriteria
(curricular-based, criterion-referenced). Dengan kata lain, evaluasi akan lebih berfokus pada performansi dan dokumentasi
prestasi siswa sebagaimana terakumulasi dalam portofolio. Dokumentasi prestasi ini bukan hanya untuk guru, tetapi juga untuk
dikomunikasikan kepada orang tua.
Sekolah sebagai sistem juga dimonitor secara berkelanjutan.
Artinya sekolah tidak hanya terampil memonitor kemajuan siswa, tetapi juga siap mengevaluasi dirinya sendiri. Hasil evaluasi
diri ini merupakan bahan bagi pihak lain (external evaluators) untuk mengevaluasi kinerja sekolah itu. Inilah makna
akuntabilitas publik. Sekolah harus mengagendakan program rujuk mutu (benchmarking) kepada sekolah lain, sehingga sadar
akan kelebihan dan kekurangan sendiri.
Model sekolah unggul seperti digambarkan di atas akan berwujud
bila sekolah tidak eksklusif bak menara gading, tetapi tumbuh sebagai bagian dari masyarakat sehingga memiliki kepekaan terhadap
nurani masyarakat (a sense of community). Dalam masyarakat setiap individu berhubungan dengan individu lain, dan masing-masing
memiliki potensi dan kualitas yang dapat disumbangkan pada sekolah.
Dalam era reformasi tetapi juga dalam keterpurukan
ekonomi sekarang ini, kita merasakan keterbatasan dana dan menyaksikan tuntutan yang semakin tinggi akan adanya otonomi sekolah,
akuntabilitas publik dan tranparansi, serta adanya harapan besar dari orang tua. Bila ketujuh ayat di atas dilaksanakan, pendidikan
yang diselenggarakan sekolah akan berdampak dahsyat pada pembentukan manusia kapital di tanah air.